Sharing With Passion

September 18, 2010

Posted by Sabar Santoso in | September 18, 2010 No comments

Terdapat banyak langkah pencegahan untuk memerangi korupsi. Untuk memberantas persoalan korupsi kronis di Indonesia amat lah penting bagi kita untuk memahami asal-usul langkah itu. Larmour dan Wolanin mengkategorisasi langkah-langkah ini ke dalam tiga strategi berbeda: intervensionisme, manajerialisme, dan integritas organisasi.

Tiga pendekatan ini didesain secara khusus untuk memberantas korupsi. Intervensionisme adalah sebuah pendekatan
ex post “kuratif” kejahatan atau pendekatan untuk mengontrol korupsi, dengan asumsi masyarakat dilindungi oleh penegakan hukum. Pendekatan ini berjalan, sebagai contoh, melalui peningkatan kemungkinan pendeteksian, hukuman dan kerasnya sanksi yang dijalankan sehingga pelanggaran aktual dan potensial dapat ditekan dan mencegah kehendak seseorang untuk melakukan kejahatan korupsi.


Di sisi lain, manajerialisme mengambil model
ex ante “preventif” tindakan antikorupsi dengan mengurangi kesempatan untuk perilaku korup melalui pembangunan sistem yang tepat dalam proses manajemen. Formula Klitgaard bahwa Korupsi = Monopoli + Kesempatan – Akuntabilitas memang membutuhkan pendekatan manajerialisme.


Pendekatan ini dilakukan melalui pengurangan kesempatan korupsi melalui demonopolisasi atau privatisasi –membiarkan kompetisi pasar bekerja- dan pembangunan proses pengambilan keputusan yang jernih, transparan dan akuntabel untuk membedakan barang komsumsi publik dan pelayanan.


Pendekatan integritas organisasi untuk mengontrol korupsi menuntut integrasi strategi pengontrolan korupsi dan standar etika melalui sistem operasional organisasi. Dengan kata lain, seperti perkataan Karmour dan Wolanin: ‘ini adalah sebuah norma sosial dalam sebuah organisasi yang secara akurat mendefinisikan dan menolak korupsi.’
Istilah “integritas” memiliki kesamaan dengan struktur integritas sebuah gedung. Maka, sebuah organisasi yang memiliki integritas dapat melawan korupsi secara keseluruhan melalui sistem operasi. Pendekatan sistem antikorupsi integritas nasional Tranparency International mungkin bisa diklasifikasikan dalam kategori ini.

Tujuan akhir dari sistem ini adalah membuat korupsi sebagai sebuah “resiko tinggi” dan “pengembalian rendah” terutama melalui penguatan struktur integritas organisasi pilar-pilar negara, seperti eksekutif, legislatif dan sistem yudikatif.
Pendekatan ini dibangun John Bratihwaite untuk gagasan mengintegrasi rasa malu. Ia mengatakan bahwa dinamika rasa malu di tengah masyarakat sebagian besar menguasai timbulnya penyimpangan seperti kejahatan dan korupsi. Di sini, jika masyarakat bukan subyek kriminal atau tingkah laku korupsi untuk dipermalukan, kejahatan atau tingkah laku korup akan menjadi cibiran dan mengarah pada internalisasi norma sebuah kelompok.

Gillespie and Okruhlik mengklasifikasi strategi antikorupsi atau “pembersihan korupsi” sebagai strategi masyarakat, hukum, pasar dan politik. Strategi masyarakat secara mendasar menyasar perubahan sikap masyarakat dan nilai-nilai dari toleransi ke intoleransi korupsi melalui pendidikan, norma etik, dan kewaspadaan publik.

Strategi hukum berfokus pada penggunaan mekanisme sanksi untuk menghalangi dan menekan tingkah laku atau aktivitas korupsi melalui penegakan hukum dengan memunculkan efektifitas dan kemungkinan deteksi, hukuman, dan penerapan denda.


Di sisi lain, strategi pasar menekankan fungsi kekuatan kompetitif pasar dalam pengalokasian barang-barang komsumsi umum dan pelayanan melalui deregulasi dan debirokratisasi kebijakan publik. Akhirnya, strategi politik menggunakan taktik mengontrol penggunaan kekuatan publik melalui pelembagaan tata kelola pemerintah yang baik dalam pembuatan kebijakan dan proses pengambilan keputusan.

Jeremy Pope, salah seorang pendiri Tranparency International, mengkategorisasi reformasi antikorupsi melalui empat kategori: pencegahan, penegakan hukum, pendidikan publik, dan pembangunan institusi –masing-masing target menimbulkan resiko atau biaya, dan mengurangi insentif keuntungan dari tindakan korupsi.
Pencegahan memiliki maksud mendepankan persoalan korupsi melalui pengurangan kesempatan untuk bertindak jahat, melalui, simplifikasi proses pemerintahan. Sebagai contoh, deregulasi dan debirokratisasi; privatisasi, pelembagaan secara vertikal dan horisontal akuntabilitas tata kelola dalam sektor managemen publik, transparansi dan partisipasi publik dalam proses pengambilan keputusan.

Strategi penegakan hukum, dibandingkan dengan intervensionisme dan strategi legal, memfokuskan taktiknya pada efektifitas pendeteksian, hukuman, dan denda pada kegiatan korupsi. Untuk tujuan ini, menjadi hal mendasar untuk memiliki sebuah sistem yudisial yang independen dan sistem penegakan hukum. Aturan hukum memang harus ditegakkan.

Lebih jauh lagi, beberapa pendekatan hukum juga harus diajukan: undang-undang kebebasan informasi, whistle-blower, pers yang bebas, dan judicial review; kekuatan investigasi yang efektif, penuntutan, dan keputusan pengadilan; persiapan untuk ektradisi dan kerjasama hukum secara internasional; pembuktian terbalik dan fakta hukum yang efektif; dan penggunaan masyarakat sipil sebagai cara menyita aset koruptor.


Langkah pendidikan publik, sama halnya dengan strategi masyarakat, memfokuskan pada sumber daya dan taktik untuk menegakkan nilai-nilai anti korupsi, etika, norma, dan tingkah laku ke kesadaran publik, dan memberdayakan mereka untuk berjuang atau tidak mentoleransi kelakuan korup. Lingkungan legal, adminstratif, dan masyarakat harus diciptakan untuk memfasilitasi upaya ini.


Terakhir, pendekatan pembangunan institusi, seperti strategi integritas organisasi, bertujuan mengupayakan segala daya untuk menumbuhkan kualitas, integritas, kapasitas, dan efektifitas antikorupsi dan lembaga pemerintahan dalam pemberantasan korupsi. Beberapa hal yang dapat diimplementasikan adalah: membuat audit independen efektif; membangun sistem hukum, ombudsman, dan lembaga antikorupsi dengan mengedepankan staf berintegritas dan memiliki kemampuan; pelembagaan norma etik dan aturan bertingkah laku; dan proses pengambilan yang transparan dan akuntabel.


Secara mendasar, seluruh pendekatan antikorupsi di atas dapat dikategorikan ke dalam tiga tipologi: preventif, represif dan strategi edukasi. Langkah preventif –manajerialisme, integritas organisasi, pasar, politik dan pembangunan strategi kelembagaan— secara mendasar es ante strategi untuk mencegah problem korupsi menduduki tempat pertama. Hal ini sudah termasuk menghilangkan atau mengurangi kesempatan, insentif dan keuntungan –sosial, politik, ekonomi, dan kelembagaan— dalam tingkah laku atau aktivitas korupsi.Pada sisi lain, langkah represif, seperti halnya intervensionisme, legal, dan strategi penegakan hukum, secara mendasar ex post pendekatan untuk memperbaiki masalah korupsi yang telah terjadi. Langkah serupa adalah untuk mendeteksi dan memberi sanksi tingkah laku korup dengan memerintahkan penghukuman pelaku korupsi dan mencegah pelanggaran dari perbuatan korupsi. Walau bagaimana pun, implemetasi langkah represif harus mengikutsertakan strategi preventif dengan meneliti kemungkinan yang akan muncul sebagai bagian dari tahap preventif.

Akhirnya, pendekatan pendidikan –strategi penyadaran publik dan masyarakat— memfokuskan strategi mereka untuk mendidik dan merubah tingkah laku masyarakat, norma dan nilai-nilai dari toleran menjadi tidak toleran terhadap kelakuan korup. Meski strategi ini memiliki beberapa elemen pencegahan korupsi, fokus mereka lebih mengambil alih sisi permintaan dari problem korupsi eksternal dari latar organisasi pemerintah
.

0 comments:

Post a Comment

Silahkan Isi Komentar Anda :

Search

Bookmark Us

Delicious Digg Facebook Favorites More Stumbleupon Twitter